Sego Tumpang, Sarsaparila dan Obrolan Urban Kentut Kosmopolitan
Oleh Agung Marsudi
KABAR dari Solo, memang penuh dengan kejutan. Hari ini Kamis (2/6/2022) meski sudah disiapkan guess house mewah di Solo, tapi saya memilih mengembara kemana-mana, suka-suka. Pagi ini saya nongki di Sasana Krida Warga Mangkubumen.
Pagi yang cozy. Halaman balai pertemuan warga yang bersih itu, membuat saya jatuh cinta pada suasana. Istirahat sejenak sebelum melanjutkan perjalanan rakyat merdesa, Jawa merdesa, belajar merdesa, demokrasi merdesa. Nasionalisme kerakyatan ala saya.
Di meja ketiga, saya menikmati Sego Tumpang, enaknya jelas setengah mati, dan tak lupa dua botol minuman tradisional beruap Sarsaparilla dari Ngoro Jombang, yang kebetulan merk-nya Agung, seperti nama saya. Di meja kayu jati itu, saya juga bisa membaca dengan santai dan seksama buku Seno Gumira Ajidarma, berjudul, "Kentut Kosmopolitan".
Buku tentang obrolan urban, yang menggelitik, menurut SGA, ruang urban adalah situs pertarungan tanpa akhir. Tempat kentut sebagai gejala alamiah tertindas atas nama peradaban. Namun dalam perjuangan kebudayaan kentut selalu melawan!
"Bang, bang, Tut! Siapa yang kentut?"
Politik Indonesia, brahi ngentut. Era kepak sayap oligarki. Menjual bangsa demi demokrasi, atas nama demokrasi. Pancasila hanya ramai di upacara, sepi di realita.
Bertemu dengan teman, ngobrol dengan petani, bercerita dengan tukang becak, sama asiknya dengan diskusi bersama aktivis dan para mahasiswa. "Shine with wong cilik".
Kegembiraan wong cilik itu ada di kepolosan dan kejujurannya yang otentik. Tak dibuat-buat. Tak direkayasa. Mereka apa adanya. Ada jiwa merdesa di setiap percakapannya.
Sebab demokrasi tanpa percakapan adalah persengkongkolan. Kurang daya, tapi mendewakan kekuasaan, hingga perlu koalisi untuk otoriter bersama.
Dimana Pancasila?
Solo, 2 Juni 2022