Primadosa Reformasi dan Anatomi Kudeta Konstitusi Print Friendly and PDF -->

CETAK BERITA

Print Friendly and PDF

Translate

Primadosa Reformasi dan Anatomi Kudeta Konstitusi

Kamis, 19 Agustus 2021,

 



Sebuah catatan, praktik mengelola negeri tanpa kemudi (Bagian 2)

 

Oleh : Agung Marsudi, founder Duri Institute

 

Masih berkelindan dengan pidato di Sidang Tahunan MPR RI, Sidang Bersama DPR RI dan DPD RI 2021, Senin (16/8/2021) di Senayan, yang dipaparkan oleh Ketua DPD RI La Nyalla Mahmud Mattalitti di hadapan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia.

 

Pertama, kutipan pidato sindiran La Nyalla, terkait pondasi bangunan ekonomi nasional:

 

"Sehingga kita juga harus melakukan koreksi atas kebijakan perekonomian nasional, yang tertuang di dalam Pasal 33 UUD 1945. Dimana kita sadar atau tidak, sejak Amandemen Konstitusi yang lalu, dengan dalih efisiensi, maka cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak, telah kita serahkan kepada pasar".

 

Kedua, kutipan terkait Perubahan Konstitusi:

 

"Karena setiap krisis besar biasanya melahirkan Revolusi Pemikiran untuk menjawab perubahan. Dan setiap negara yang memasuki transisi menuju era baru, sering ditandai dengan Perubahan Konstitusi. Seperti dilakukan Indonesia di tahun 1999 hingga 2002 silam. Ketika Indonesia menuju sistem politik yang diharapkan lebih demokratis.

 

Hari ini, sudah 19 tahun sejak Amandemen Konstitusi dilakukan oleh bangsa ini".

 

Dua kutipan ini meski berani menyinggung dan kental politik (politic heavy), tapi tak berasa apa-apa, karena normatif dan terkesan "layanan bibir" semata.

 

Sebab pidato serupa terjadi ketika Amin Rais menjadi Ketua MPR RI. Sehingga serangkaian agenda amandemen UUD 1945 berjalan mulus (seamless).

 

Dari panggung reformasi, "siapa, dimana, dapat apa", telah memberi laluan kekuasaan, bagi aktor-aktornya, dari politisi, tentara, hingga para aktivis, telah mendapat kue kekuasaan, baik di Istana maupun di Senayan. Gus Dur dan Mega pernah di Istana. Amin Rais dan Akbar Tanjung duduk di kursi empuk Senayan.

 

Para mantan tentara yang saat itu di panggung reformasi juga menikmati kue kekuasaan, setelah mendirikan partai seperti Wiranto (Hanura), Prabowo (Gerindra), PKPI (Sutiyoso), Susilo Bambang Yudhoyono (Demokrat). Aktivis sekelas Budiman Sudjatmiko, Teten Masduki, Desmond, Rike Dyah Pitaloka, Rika Tjiptaning, Adian Napitupulu, Fahri Hamzah, Fadli Zon, dan lain-lain, juga telah menikmati hangatnya kursi kekuasaan.

 

Belum lagi para anggota DPR/MPR RI hasil pemilu 1999 yang terlibat dalam rapat-rapat agenda Amandemen, juga banyak yang sudah menikmati kue kekuasaan di pemerintahan.

 

Lalu jenis pengabdian apa yang bisa disematkan pada mereka yang konon berada di pucuk reformasi, tapi sekarang justru membawa gerbong sarat beban, politik gincu dengan arah Indonesia palsu, "merah putih biru".

 

Dari panggung reformasi, dari kelompok Ciganjur, masih ada satu nama yang tak boleh dilupakan, namanya Sri Sultan Hamengku Buwono X. Darinya harapan, cerita tentang primadosa reformasi ditanyakan.



Riau, 19 Agustus 2021

TerPopuler