DI ATAS KRL SOLO YOGYA Print Friendly and PDF -->

CETAK BERITA

Print Friendly and PDF

Translate

DI ATAS KRL SOLO YOGYA

Sabtu, 09 April 2022,


DI ATAS KRL SOLO YOGYA


Oleh Agung Marsudi


SETIAP perjalanan, pergi dan pulang, pergi untuk kembali, lalu kembali pergi seperti angin yang berhembus. Kadang lupa siapa yang menggerakkan angin. Manusia tak berkehendak.


Di gerbong paling depan, kami duduk santai sambil menunggu jam keberangkatan. Setelah berminggu-minggu keliling pulau Jawa, dengan segala keberagaman dan eksotikanya. Hari ini saatnya kami kembali.


Untuk persiapan buka puasa, kami hanya membawa kurma dan air mineral plus PH 8. Semua berjalan begitu saja, sebab waktu di Peron, kami sempat dihadang security stasiun, untuk mengenakan masker KN95.


Ketika menunggu kereta, disuguhi iklan para pejabat negeri di layar yang terpasang di ruang tunggu. 


Jalan, pejalan, perjalanan, laku, lakon, tirakat, tarekat. "Lekase lawan kas, tegese kas nyantosani". 


Persoalan negeri ini tak bisa hanya diselesaikan dengan "material". Ada kekuatan spiritual yang harus dimiliki para peneraju negeri. Sebab hidup itu jasmani dan rohani.


Laku spiritual itu, kini sedang dijalani. Orang Islam yang beriman, dengan menjalankan perintah puasa, sebagaimana telah diwajibkan bagi para pendahulu berpuasa. "Meski kita lupa bertanya, seperti apa para pendahulu berpuasa," ujar Mbah Nasir (91), orang tua yang telah menghabiskan usianya berjalan kaki, mengelilingi Jawa.


Dengannya, saya belajar, laku spiritual.


Solo Balapan, Purwosari, Gawok, Delanggu, Ceper, Klaten, Srowot, Brambanan, Maguwo, Lempuyangan, Yogyakarta. Ia tak sekedar stasi, ia dulu cerita panjang perjuangan dan kesengsaraan bangsa. Para pendahulu yang dipaksa, kerja paksa oleh Belanda.


Di atas jalur kereta, terbayang berapa juta nyawa rakyat yang mati dipaksa kerja, tak tahu untuk apa. Dari Banyuwangi hingga Betawi. Belanda meninggalkan jejak jalan, jalan rakyat yang berkorban jiwa dan raga demi Indonesia. Dan kita mudah lupa.


Untuk Belanda, nyawa jutaan rakyat Indonesia tergeletak, mati tak berharga, dipaksa kerja paksa, ketika membuat rel kereta. Kini kita merasa biasa menaiki kereta itu, sepanjang waktu.


Di atas KRL Solo Yogya. Kita berhutang nyawa. Puasa, mengingatkan penderitaan bangsa itu di depan mata.


Itulah jawabannya, kenapa rakyat tak pernah mau diundang ke Istana. Karena di Istana, masih banyak hantu Belanda.



Solo, 9 April 2022

TerPopuler