Kapitalisme dalam Secangkir Kopi
Print Friendly and PDF
-->

CETAK BERITA

Print Friendly and PDF

Translate

Kapitalisme dalam Secangkir Kopi

Selasa, 27 Mei 2025,


 

Oleh Agung Marsudi

Afridal Darmi (52), dengan asik menulis tentang belajar teori hegemoni dari sebotol kecap manis. Sementara saya masih belajar menikmati secangkir kopi manis di warung Mbah Gareng, Mantingan, Ngawi. Sebuah warung kopi tubruk, racikan leluhur yang sudah berusia 56 tahun.

Delapan seruputan, dalam secangkir kopi "ireng guseng" itu masih membuatku penasaran dan terus belajar tentang kopi dan ngopi. Teguk dan seruput. Pait dan legi. Gelas dan cangkir.

Dua puluh tujuh alinea tulisan jebolan Northwestern University ini, mendedah keprihatinannya setelah 40 tahun, tidak ada rasa manis dalam masakan utama di dapur-dapur Aceh. Meski ia sadar, sesadar-sadarnya fenomena perubahan kecil seperti kecap manis dalam dapur orang Aceh, bukan sekadar nostalgia atau perkara rasa. Itu adalah cermin bagaimana dominasi budaya bekerja perlahan, mengendap, dan mengakar dalam kehidupan sehari-hari.

Hingga saya terkesima membaca dua alinea kesimpulan terakhirnya; "Hegemoni tidak selalu jahat. Tapi memahaminya adalah langkah penting agar kita bisa memilih dengan sadar, bukan hanya sekadar mengikuti arus."

"Dalam setiap tetes kecap manis yang kita tuangkan hari ini, ada cerita tentang bagaimana dunia pelan-pelan mengubah kita.
Tak ada yang salah mencintai rasa baru—selama kita tahu apa yang telah berubah dan mengapa itu terjadi".

Afridal, seorang human right defender, penulis, yang juga berprofesi sebagai advokat profesional. Ia pernah menjejakkan kaki di berbagai sudut bumi di negeri-negeri yang jauh di empat benua dalam menjalankan misinya. Tapi ia mengaku selalu mendapati dirinya merindu Aceh, tempat perahu hatinya tertambat dan membuang sauh, tempat anak-anak dan istri yang dicintainya bermastautin. "Menyukai kopi dan bacaan, segelas seduhan kopi Aceh dan sebuah buku, serta pojok yang tenang untuk membaca, hanya itu yang diperlukan untuk membuatnya bahagia," akunya.

Dari Gampong Seubam Cot, Kecamatan Montasik, Kabupaten Aceh Besar, "Kopi dan buku" membuat Afridal Darmi bahagia. Sedang bagiku, "Kopi dan Kapitalisme" telah membuatku tak bisa tidur nyenyak.

Dari Antonio Gramsci, seorang pemikir Italia, kita tahu konsep hegemoni sebagai dominasi yang diperoleh bukan melalui kekerasan atau senjata, melainkan lewat persetujuan sosial dan budaya.

Dari Peter L Berger, seorang sosiolog humanistik Amerika, kita meneroka pergolakan ideologi akhir-akhir ini, hakekat dan peranan kapitalisme yang secara radikal telah mengubah setiap faset material, sosial, politik dan budaya masyarakat dunia, hubungan antara kapitalisme dengan stratifikasi, kapitalisme dengan bentuk-bentuk masyarakat politik, serta kapitalisme dengan berbagai bentuk sistem nilai, hingga tentang kemakmuran, keadilan dan kebebasan.

Kapitalisme, dalam secangkir kopi seperti "pantulan bayangan pohon" sosialisme yang rindangnya sedang dinikmati para pebisnis properti, dan para pencuci uang, yang menyatu dalam setiap seduhan kopi, yang dimonetisasi setiap hari. Terus begitu dari waktu ke waktu.

Hanya dari pojok kafe (work from coffee), koalisi dan sindikasi dirancang, orang-orang membicarakan dwifungsi penguasa-pengusaha, megaproyek, besaran anggaran, menikmati lezatnya saham Hongkong, para pendengung melancarkan serangan, naik turunnya pasar derivatif, apatah fluktuasi harga dolar Amerika.

Olala!


Ngawi, 25 Mei 2025

TerPopuler