Oleh Agung Marsudi
"Roti, Sirkus dan Bansos"
SEMENTARA rakyat makin banyak yang menderita diabetes, karena menelan janji-janji manis politik. Para elit di istana asik menikmati kopi koalisi yang katanya "tanpa gula".
Kopi selalu saja menemani cerita negeri ini penuh intrik dan sensasi, dari generasi ke generasi. Nasionalisme diganti kebangsaan, Islamisme disebut keislaman, Marxisme (tak ada padanannya). Kolusi diganti "mediasi". Nepotisme itu berasas kekeluargaan. Jadilah, ngopi itu rutinitas, korupsi itu prioritas.
Korupsi kok pekerjaan. "Abrakadakbra!"
Lalu tiga kata; roti, sirkus, dan bansos itu dianggap sebagai trik politik paling mutakhir untuk merebut dukungan, dan meninabobokan, hingga rakyat tertidur pulas.
Usai terbangun pagi ini, saya disuguhi pesan dari elit, "Angka-angka ini bukan sekedar statistik, di balik angka itu, ada wajah anak-anak yang putus sekolah, ibu-ibu yang berjuang tanpa akses kesehatan, keluarga-keluarga yang hidup dalam keterbatasan".
Sebuah kutipan pidato pencapaian program sedu sedan. Kemiskinan kata dasarnya "miskin". Karena rakyat dasarnya memang miskin, lalu untuk apa rakyat yang butuhnya hanya sesuap nasi, tapi dijejali pidato demokrasi setiap hari. Urusan sejengkal perut saja, tak pernah selesai, siapapun presidennya.
Kopi Indonesiano itu hanya ada tiga rasa; sandang, pangan, papan. Jangan pernah diabaikan. Karena rakyat selalu punya cara untuk mengeluarkan senjata, yaitu kemarahan. Ketika saatnya tiba.
Rakyat sudah tak sabar menunggu, apa hasil sidang mediasi hari ini, terkait kasus dugaan ijasah palsu Jokowi di Pengadilan Negeri Surakarta. Lalu ada yang teriak lagi, "Hidup Jokowi!"
Solo, 30 April 2025