Petani Masih Ogah Pakai Aplikasi Anti Tengkulak Print Friendly and PDF -->

CETAK BERITA

Print Friendly and PDF

Translate

Petani Masih Ogah Pakai Aplikasi Anti Tengkulak

Minggu, 14 April 2019,
NUSANTARAEXPRESS, JAKARTA - Para petani tanah air sejatinya sudah mengetahui keberadaan aplikasi penghubung seperti TaniHub dan TaniJoy yang mampu memotong mata rantai distribusi produk pertanian dan mampu meningkatkan kesejahteraan.

Namun, Serikat Petani Indonesia (SPI) menilai bahwa masih banyak petani yang ogah memanfaatkan aplikasi penghubung tersebut.

"Sudah (tahu ada aplikasi penghubung), kita belum sampai memaksimalkannya," kata Ketua Umum SPI Henry Saragih kepada detikFinance, Jakarta, Sabtu (6/4/2019).

Henry mengungkapkan alasan masih banyak petani yang belum memanfaatkan aplikasi penghubung ini adalah karena ada kekhawatiran pada pengelolanya.

Para pengelola aplikasi itu, kata Henry kurang memiliki latar belakang sektor pertanian yang mempuni. Sehingga, tidak mampu menyelesaikan persoalan secara menyeluruh.

"Artinya toh owner-nya bukan petani, jadi tidak mengetahui permasalahan yang di lapangan," ujar dia.

Alasan selanjutnya, terang Henry, ketakutan para petani yang bergantung kepada aplikasi penghubung tersebut. Dia mencontohkan, jika seluruh petani nasional memanfaatkan aplikasi tersebut, maka yang mengendalikan produksi sepenuhnya adalah ownernya.

Tidak hanya itu, keterbatasan daya serap produksi para pemilik aplikasi juga menjadi salah satu kendala bagi petani untuk memanfaatkan aplikasi tersebut.

Bahkan, menurut Henry, penyebaran aplikasi penghubung ini juga masih terbilang terbatas. Di mana, pemanfaatan aplikasi ini belum pada skala yang lebih luas. Artinya, hanya beberapa wilayah saja yang bisa memanfaatkannya.

Oleh karena itu, SPI, kata Henry, justru lebih memilih mengembangkan koperasi petani di daerah. Tujuannya, sama-sama memotong mata rantai distribusi produk pertanian.

Dia menceritakan, koperasi petani di daerah fungsinya akan menjadi penghubung antara petani dengan konsumen. Jadi, dari yang semula petani menjual kepada pengepul atau tengkulak bisa langsung jual ke koperasi.

Selama ini, hasil produksi petani harus melewati empat mata rantau sebelum sampai ke tangan konsumen. Dia mencontohkan, petani menjual ke pengepul di desa, dari situ dijual ke tengkulak yang memiliki akses kepada tengkulak level kecamatan, dari sini baru bisa sampai di pasar besar.

"Kalau SPI mendorong pembangunan koperasi, karena koperasi memiliki hub berkoneksi dengan koperasi di tempat konsumen, jadi ada cuma dua perantara sampai konsumen," ungkap dia.

Bukti masih banyaknya petani yang ogah memanfaatkan aplikasi pemotong mata rantai distribusi terbukti dari hasil survei yang dilakukan oleh pengamat pertanian dari IPB Dwi Andreas Santoso.

Andreas mengaku baru saja menyelesaikan survei dampak penerapan teknologi IT terhadap keberlangsungan produk petani nasional. Survei dilakukan di 14 kabupaten yang utamanya di Pulau Jawa.

Dari hasil survei tersebut, sebanyak 22,36% petani sudah memiliki smartphone berbasis android yang menjadi modal utama dalam memanfaatkan aplikasi tersebut.

Namun, yang memanfaatkan aplikasi tersebut hanya 0,00% petani murni dengan kepemilikan lahan 0,5 hektar. Sedangkan pedagang yang mengaku petani atau istilahnya kelompok yang memanfaatknya sebesar 42,86%. Dan sebesar 28,57% dimanfaatkan oleh perantara atau tengkulak yang disebut juga meddle man.

"Petani kecil, bukan pedagang yang ngakunya petani tidak ada yang memanfaatkan," ujar Andreas. [hek/dna]

 

 

 

Sumber: Detik.com

TerPopuler